Hujan di Langit Berbintang

Oleh: DHan

Bagi seorang anak, berbakti pada orang tua adalah keharusan. Begitu pula yang aku lakukan saat ini, belajar dengan sungguh-sungguh dan berusaha membuat bangga kedua orang tuaku. Namaku Angga, siswa kelas XII di SMA Jatidiri, Bandung. Hobiku adalah bermain basket, dan aku bercita-cita menjadi pemain basket profesional nanti. Sudah sejak sekolah dasar aku gemar bermain basket. Dulunya mungkin hanya sekedar ikut-ikutan kakakku, namun semakin lama aku menyadari bahwa aku memiliki chemistry terhadap basket. Kisahku adalah perjuangan memperoleh nama pemain basket profesional untuk membanggakan dan berbakti pada orang tuaku.

***

Sunyi, suasana sekolah ketika aku sampai. Jelas saja, karena sudah kebiasaanku untuk selalu berangkat jauh lebih pagi dari teman-temanku. Rutinitasku di sekolah adalah bermain basket setiap pagi pukul 06.00 WIB sampai bel pelajaran berbunyi. Tentu saja aku tak pernah melupakan kewajibanku untuk menimba ilmu. Bahkan semenjak duduk di bangku SMA, tak pernah sekalipun aku meninggalkan gelar peringkat 1 ku di kelas. Meski basket adalah hobi, nyatanya aku masih terus berkonsisten terhadap tujuan utamaku, yaitu berbakti pada kedua orang tuaku.

Saking asiknya aku bermain basket, aku merasa sangat haus dan banyak berkeringat. Kusudahi bermain bola basket pagi itu, karena sebentar lagi pasti bel pelajaran berbunyi. Dengan langkah bersemangat penuh keringat, aku berjalan menuju ruang kelas.

“Angga, lo udah ngerjain pr matematika belum?” Tanya Siska teman kelasku.

“Udah Sis, kenapa?” Jawabku dengan nada sok tidak paham.

“Gue liat dong, please…!” Pinta Siska setelahnya.

“Liat ya? Nih…udahkan?!” Godaku kepada Siska.

“Apaan sih lo Ngga? Pelit deh!” Gerutu Siska.

“Sis, daripada kamu nyalin pr aku, mending kamu aku ajarin aja sini?” Tawarku.

“Ah…udah mau masuk nih, please Ngga?” Rengek Siska kepadaku.

“Ya sudah, ini yang terakhir ya, aku tinggal dulu!” Jawabku setengah kesal.

“Oke…makasih Ngga!” Jawabnya dengan kilat menyambar buku ditanganku.

Siska salah satu siswi perempuan di kelasku. Dia memang cantik, sangat cantik dan juga kaya, namun tak sekalipun aku tahu dia memenuhi tugas sekolahnya. Setiap hari yang ia lakukan hanyalah asik ngerumpi bersama geng badutnya dan berpacaran ria dengan Doni si playboy keren nan kaya. Hal yang membuatku kesal adalah ulah geng Siska di kelas yang suka membuat kegaduhan dengan obrolan alay mereka. Tak jarang pula mereka memoles wajah dengan bedak setebal topeng di kelas. Tentu saja semuanya itu branded.

Siska sudah berpacaran dengan Doni sejak kelas X. Bagaimanapun Siska adalah temanku, aku tak mau ada yang berbuat tak baik kepadanya, termasuk Doni. Doni sudah terkenal akan ke-playboy-annya. Entah mungkin karena harta sehingga banyak perempuan nempel kepadanya. Mungkin juga Siska salah satunya. Pantas saja aku sering melihat Siska berusaha perfect di hadapan Doni, meski aku tahu Doni suka lirik sana-sini. Tapi bagaimana itu terjadi, sedangkan Siska sendiri adalah anak orang kaya.

“Assalamu’alaikum Angga?” Suara lembut terdengar dari belakangku.

“Wa….wa’alaikumsalam, Reni, ada apa ya?” Jawabku kikuk.

“Ini ada undangan grand opening rumahku, kamu datang ya?” Jelas Reni.

“Kenapa mengundang aku?” Tanyaku penuh keheranan.

“Iya Angga, rumah baruku ada satu komplek dengan rumahmu.” Terang Reni.

“Ah yang benar? Kamu nggak bercandakan?” Kembali aku bertanya ragu.

“Hmm, lebih baik kamu datang dan pastikan sendiri ya Ngga.” Dehem dan jawab Reni dengan senyum yang sangat menawan.

“Baik, Insya’Allah aku datang ya Ren.” Balasku dengan nada lembut menyakinkan.

“Aku tunggu kehadiranmu Ngga, Assalamu’alaikum.” Ungkap dan pamit Reni.

“Insya’Allah Ren, Wa’alaikumsalam.” Jawabku kemudian.

Renipun berlalu dariku dan keluar dari ruang kelas. Jelas ini memang acara sungguhan, terlihat dari raut wajah Reni yang begitu menyakinkan hatiku.

  Reni juga salah satu siswa di kelasku. Satu-satunya siswi yang berkerudung dan berperilaku baik di kelas. Yang benar saja, terkecuali Reni, tak ada siswi di kelas yang bisa diam, mereka selalu berbuat gaduh dan merusak suasana indah belajarku. Tentu saja ini membuatku begitu memperhatikan Reni, dan kabar rumahnya yang satu komplek denganku membuat aku merasa ada rasa gembira seketika. Hal ini mulai membuat aku berfikir bahwa aku mungkin mencintai Reni.

Seperti apa rasanya jatuh cinta, aku tak tahu. Selama ini aku selalu terfokus pada belajar, menjadi pemain basket profesional, dan berbhakti pada orang tua. Aku tidaklah berasal dari keluarga kaya raya, serba ada dan berkuasa. Ayahku pemilik toko spare part motor, sedang ibuku seorang ibu rumah tangga. Berbeda dengan Reni, papanya seorang Manajer perusahaan farmasi, dan ibunya seorang bidan. Hal ini pula terkadang menegatifkan rasa cintaku pada Reni, kalau-kalau keluarganya tak merestuiku karena perbedaan sosial.

Cinta tak mengenal kasta”, apa mungkin berarti juga untukku? Ah, rasanya tak perlu aku terlalu memikirkannya, yang penting Ayah-ibu bahagia dan aku berbakti kepada mereka. Kupandang menerus wajah Reni dari kejauhan kelas, karena ku tahu tak baik apabila Reni mengetahuinya. Aku rasa malam nanti harus datang ke acara  opening House´nya Reni. Tak terasa kini sudah sore dan waktunya aku untuk pulang.

“Angga! Nanti malam jangan lupa ya, datang ke acara grand opening rumahku?” Panggil Reni dan bertanya.

“Siap Ren, pokoknya Insya’Allah lah kalau tidak ada halangan aku berangkat.” Jawabku kemudian.

“Ya sudah aku pulang dulu Ngga, mau nyiapin buat nanti malam di rumah lama dulu.” Tutur Reni.

“Iya Ren, hati-hati ya.” Ucapku.

“Iya Ngga, Assalamu’alaikum.” Ucapan salam dari Reni.

“Wa’alaikumsalam.” Jawaban salam dariku.

Seperti itulah, Reni yang dari keluarga kaya setiap saat diantar jemput memakai mobil mewah. Aku sendiri menaiki sepeda onthel sampai rumah. Menurutku, dengan bersepeda dapat membantu untuk latihan fisikku agar menjadi pemain basket profesional, lagi pula jarak rumah dengan sekolah hanya 2 Km.

Sesampainya di rumah pukul 16.15 WIB aku membantu ayah untuk menurunkan barang-barang bengkel yang baru dibeli, ke dalam rumah. Setelahnya aku langsung mandi, lalu sholat maghrib. Tak sadar aku menjadi perhatian kedua orang tuaku. Mungkin karena aku terlihat tak biasa dan sedikit memburu.

Dengan sedikit gugup karena sudah pukul 7, aku lupa bilang dengan ayah maupun ibu.

“Mau ke mana Ngga?” Tanya ayah keheranan.

“ee eh…mau itu yah..anu….” Jawabku sedikit kikuk pada ayah.

“Hus! Mau ke mana kamu?!” Tanya ayah kembali sedikit kesal.

“Mau ke rumah temenku yah, acara pembukaan rumah baru, masih satu komlek sama kita kok yah.” Jawabku aneh dan berusaha menjelaskan.

“Ya sudah, jangan malam-malam pulangnya, ini malam Kamis, bukan malam Minggu, kamu masih harus belajar karena besok sekolah.” Nasehat ayah.

“Iya yah, Angga tidak lupa belajar kok. Berangkat dulu ya yah, bu, Assalamu’alaikum.” Pamitku pada Ayah dan Ibu.

“Wa’alaikumsalam.” Jawab mereka singkat.

Sesampainya di rumah, keanehanpun terjadi. Suasana hening, tak banyak orang, sekalipun ada mereka berpenampilan elit dan menerus memandangku seolah aku buronan polisi. Tak kuhiraukan mereka, yang kulakukan hanyalah permisi-permisi melewati mereka dan berusaha mencari Reni.

“Reni!” Teriaku melihat Reni di lantai atas.

Tanpa menjawab sapaanku, Reni memberikan isyarat aku untuk menunggunya di bawah dan bergegas turun menemuiku.

“Angga, kamu baru datang ya?” Tanya Reni yang membingungkan.

“Iya Ren, kenapa? Aku telat ya? Tapi kan…” Aku yang keheranan tiba-tiba perkataanku dipotong Reni.

Reni dengan cepat menghilang dari pandanganku, entah ke mana dia pergi, yang pasti kejanggalan terjadi. Rumah tempat acara ini bukan seperti rumah baru. Bersamaan dengan rasa keherananku, semua orang di rumah itu mendekat kepadaku.

“Angga ya?” Tanya om dengan setelan jas mewah kepadaku.

“Iya om, maaf om juga dapat undangan opening house dari keluarga Reni ya?” Tanyaku kembali kepada om tersebut.

“Haha, opening house?” Tawa dan tanya om dengan logat Inggir fasih dan nampak aneh.

“Iya om, ini acara opening house keluarga Reni kan?” Jelasku kepadanya.

“Iya mungkin, ya sudah kamu duduk dulu di kursi sana, nanti kita menyusul.” Suruh om bersetelan mewah tersebut.

Tanda berkata lagi aku duduk di kursi yang ditunjuk om tadi. Otakku mulai berfikir yang aneh, apa mungkin ini hanya ilusi? Atau jangan-jangan semua ini tidak terjadi, dan hanya tidu daya setan? Sebisaku menenangkan hati, aku bernyanyi dalam hati, berusaha positif thinking. Di mana Reni? Ah, Reni sesaat terlihat menyebalkan dibenakku. Meninggalkan aku di sini tanpa memberi tahu apapun tentang apa yang sebenarnya terjadi.

“S I A P A   I N I?!” Aku terkejut dengan tangan kekar yang menutup mataku dari belakang.

Ttoooooeeeetttttttttt

Yeeeeeeeeeeeeeeeee

Suasana gaduh teman kelasku tiba-tiba memenuhi rumah ini. Ada apa sebenarnya.

“Ayah?! Ibu?! Kenapa bisa ad….” Ayah ibu tiba-tiba hadir dihadapanku, menambah kebingunganku. Namun sosok papa Reni memotong perkataanku.

“Angga, ketahuilah, acara ini kami maksudkan untuk menunangkan kamu dengan Reni. Terus terang, om tahu Reni sangat cinta kepadamu, dan om tahu kamu anak yang baik.” Penjelasan papa Reni yang membuatku bagai disambar petir.

“Ta…Tap..Tapi Om kami masih sekolah, saya masih harus mengejar mimpi saya menjadi pemain basket profesional dan membanggakan orang tua saya.” Jawabku runtut dan salah tingkah.

“Kamu anak yang baik, dan meski om tahu kamu dari keluarga sederhana, om tetap yakin untuk menunangkan kamu dengan Reni.” Tambah papa Reni.

“Tapi om, aku masih harus…” Kembali perkataanku dipotong papa Reni.

“Tenangkan dirimu, om sudah memiliki rencana untuk menyekolahkanmu ke akademi basket setelah lulus nanti, kamu tenang saja ya.” Jawaban papa Reni yang benar-benar kembali memutarkan otakku, dan melemaskan seluruh persendian tubuhku.

Sampai acara selesai aku masih tak memercayai apa yang sudah terjadi. Aku diantar pulang dengan mobil mewah bersama ayah ibu oleh sopir Reni. Ayah memberikan ucapan selamat kepadaku, namun aku masih ragu, akankah aku mampu menyandang status tunangan saat ini? Ah, rasanya aku ingin segera tidur.

Sesampainya di rumah, aku tak berkata apapun, dan langsung masuk kamar. Terdengar lirih perbincangan ayah ibu bahwa mereka ingin acara pernikahanku kelak begitu megah. Sedangkan aku tahu, ayah tengah sakit tumor dan butuh berobat. Sudahlah, kembali aku renungkan untuk menggapai mimpiku terlebih dahulu, begitu pula dengan keharusanku berbakti dengan membanggakan kedua orang tuaku dengan cara menjadi pemain basket profesional.

5 bulan sudah sejak saat aku bertunangan dengan Reni. Semuanya nampak lancar dan Insya’Allah baik-baik saja. Esok adalah hari pengumuman kelulusanku, itu artinya aku akan segera melangsungkan pernikahan dengan Reni. Segala persiapan, penentuan dan kelengkpan pernikahanku dipenuhi oleh keluarga Reni. Dan ketika pengumuman kelulusan tiba, aku dengan rasa bahagia dan bangga, penuh syukur, melihat peringkat kelulusanku yaitu nomor 2 se-Jawa Barat.

“Selamat ya Ngga, sebentar lagi married dong? Selamatnya double ya.” Ucap Siska.

“Iya Sis, makasih ya.” Jawabku singkat dan ingin segera pulang.

Sambil tersenyum malu aku menghampiri Reni dan saling memberikan ucapan selamat. Namun Reni nampak berbeda.

“Ren, sakit?” Tanyaku kepadanya yang nampak gusar.

“Angga, kita pulang sekarang ya.” Ajak Reni dangan terburu.

Tanpa menjawab sekatapun, aku ditariknya ke dalam mobil dan sopir tancap gas ke arah rumahku. Apa yang aneh, Reni tiba-tiba menitiskan air mata.

“Kamu kenapa Ren? Ada apa?” tanyaku kembali.

Namun Reni tak menjawabku, aku menjadi cemas, dan memilih untuk diam saja. Sesampainya di rumah, mataku terbelalak dan rasanya ingin melompat segera ke luar mobil.

Bendera kuning mengibar di depan rumahku. Reni menangis sejadi-jadinya, tak terasa aku menitiskan air mata juga. Setelah mobil berhenti, Reni memegang tanganku dan memintaku tenang sambil ia menangis. Tak pikir panjang aku segera keluar mobil dan lari ke dalam rumah.

“Ayaaah…………….!” Teriakku melihat lilitan kain kafan di tubuh ayah.

Aku tersungkur setengah berdiri, diam, menangis tanpa dapat bergerak dan mengeluarkan kata sekalipun. Tangan lembut Reni menyentuhku, berusaha turut menguatkanku atas sesuatu yang benar memukulku.

“Ayah! Angga bawa prestasi buat ayah! Ayah bangun yah! Ini untuk ayah dan ibu! Ayah! Ayaaah…!” Akupun histeris dengan kejadian ini.

“Angga, ibu bangga sama kamu, ayahpun pasti seperti itu. Sekarang ayah sudah kemabali, kita harus kuat Angga.” Perkataan ibu yang membuat aku semakin merasa duka sangat dalam.

Mengapa harus sekarang, di saat aku membawa kabar gemilang, ayahpun pulang. Ayah yang selama ini membiayaku sekolah, namun belum sempat aku membuatnya merasa menjadi orang tua terbahagia di dunia, ayah sudah dipanggil oleh-Nya.

Tiga bulan setelah pemakaman ayah, aku dan Reni melangsungkan pernikahan. Terjadi kekosongan rasa di hatiku, ke mana ayahku? Dalam rasa bahagia dan duka, aku tersenyum pada semua undangan pernikahanku. Reni mengertikan keadaanku, ia senantiasa menguatkanku bahwa masih ada ibu yang menjadi tujuan kesuksesanku.

Kini aku telah menikah dengan Reni, dan seperti kata papa Reni, aku akan di sekolahkan di akademi basket profesional. Setelah satu mingu aku mendapat kabar bahwa aku lolos seleksi akademi basket di Amerika. Aku dengan kerendahan hati dan rasa bahagia, mengajak Reni juga ibu untuk ke Amerika. Meski ayah telah tiada, tapi ibu akan kujaga, hingga aku dapat melihat ayah tersenyum di surga.

Aku sadar betapa pilu dan dilemanya kehidupanku, kebahagianku tak terasa lengkap kini. Ketika aku mampu menggapai apa yang aku ingin dan harapkan, ayah tak dapat menikmatinya bersama. Air mata telah mengguyur kebahagiaan ini, bagaikan Hujan Di Langit Berbintang.

***