Lauk Makan Siangku

Oleh: Duwie Kresno Wibowo

Siang itu saatnya kami makan, setelah berlatih sejak pagi, aku merasa lelah dan lapar. Seingatku, kisah ini terjadi saat pertengahan diksar. Ah, mungkin belum ada satu minggu. Pagi-pagi buta kami bangun, bersih diri kemudian salat subuh. Dingin? Tentu iya, apalagi wilayah pendidikan dasar kami berdekatan dengan gunung, aku lupa nama gunungnya, yang jelas ada di Magelang, hehe. Berbeda dengan suhu di siang hari yang cenderung panas dan menyengat. Selepas subuh kami kemudian bina fisik (binsik) atau bina jasmani (binjas). Dipandu oleh pelatih jasmasni (jas), terkadang karena kurang tidur dan mendapat jatah menjaga serambi (ronda), kepalaku pusing saat jas, tapi tetap kupaksakan, karena aku merasa masih sanggup. Pikirku, ah nanti juga hilang pusingnya. Lagipula tidur di barak saat kegiatan adalah hal yang haram.

Karena masih minggu-minggu awal, kegiatan pagi masih bersifat klasikal atau pemberian materi di kelas. Setelah sarapan pagi kami mendapat materi, terkadang aku merasa lucu juga karena melihat teman-temanku yang terkantuk-kantuk saat mendengarkan pelatih menjelaskan. Hingga hari menjelang siang, saatnya salat zuhur. Setelah salat kami lanjut makan siang, hari itu mendung, nampaknya akan hujan. Kebetulan hari itu temanku menjadi bintara piket siang. Setelah berbaris kami mulai berhitung dalam barisan, bagi yang belum tahu bagaimana berhitung dalam barisan, ya coba mencari tahu, hehe. Di tengah perjalanan menghitung tiba-tiba hujan turun, suasana menjadi agak riuh karena kami ingin segera masuk. Setelah selesai menghitung, bintara piket bertanya untuk memastikan apakah sudah lengkap. “Sudah lengkap?”, “Siap, sudah!”, jawab teman-temanku. Begitu pula pikirku, karena jumlah kami sekitar seratus, akan tidak nampak jika satu atau dua orang “menghilang”. Kami masuk truang makan, berdoa, kemudian makan, suara kami saat makan agak riuh, bukan karena kami mengobrol, tapi suara nyaring dari peralatan makan dengan wadah makan yang terbuat dari besi. Ada yang bilang saat makan suaranya seperti segerombol lebah yang marah, tapi aku lebih suka pendapat temanku, bahwa saat makan suaranya seperti sedang baku tembak di medan perang. Aku tertawa dalam hati jika mengingatnya. Jika kamu belum ada gambaran, cobalah bayangkan satu kelas membawa piring seng kemudian dipukul memakai sendok dan garpu secara bersamaan, namun tak teratur, ya “sebelas duabelas” seperti itu, hehe.

Selesai makan kami berdoa kemudian keluar, tiba-tiba pelatih memanggil bintara piket. Ternyata ada seorang yang belum makan, dia tertidur di barak. Aku sempat kesal juga, kenapa saat siang hari dia justru tidur di barak, jika sakit kan bisa tidur di ruang kesehatan. Eh, dia perempuan ternyata, usut punya usut saat hendak makan dia susah atau enggan dibangunkan, kalau bahasa jawanya “ngebo”. Karena perbuatannya itu, kami semua dihukum jalan jongkok mengelilingi lapangan sambil membawa kursi yang kami duduki tadi. Setengah lapangan kami jalan jongok, kami diminta lari tetap dengan membawa kursi. Namun, anehnya ada beberapa “oknum” yang hanya berjalan kaki saja. Pelatih yang melihat menjadi kesal, akhirnya kami harus merayap di tengah lapangan yang masih basah karena hujan. Merayap di lapangan yang sudah menjadi kubangan lumpur, badan kami basah dan kotor karena merayap dada dan punggung, padahal kami harus mengikuti kelas materi setelah ini.

Tak berhenti di situ, untuk membersihkan diri, kami “digiring” pelatih ke kolam ikan, bukan diminta mancing lho ya. Tentu, kami membersihkan diri di kolam itu, ukuran kolamnya sekitar 8×6 meter dengan kedalaman sekitar 1 meter. Dengan orang sebanyak itu, mandiku ya asal basah dan lumpurnya hilang saja. Sekarang kami benar-benar telah basah luar dalam, dan tanpa berganti pakaian kami segera ke kelas. Hari itu membuat temanku sang bintara piket menjadi dikenang, karena telah memasukkan satu angkatan ke kolam, hehe.

Di kelas yang berlantaikan ubin menjadi masalah tersendiri, bisa terpeleset. Tak hanya itu, lantai menjadi basah dan kotor, butuh kerja ekstra untuk membersihkannya. Untung saja hari itu bukan giliran piket kebersihan kelompokku. Kami mengikuti kelas dari siang sampai malam dengan baju, celana, dan sepatu yang basah, bahkan bisa ku katakan bajuku kering di badan. Beberapa ada yang kedinginan, beberapa ku lihat baju mereka “menguap”, aku? Tetap tenang dan santai, hehe. Jika kalian mengeluh karena basah gerimis hujan, maka bersyukurlah telah membaca cerita ini, hehe. Aku jadi teringat kata-kata juniorku di status whatsappnya, “Seseorang yang tetap tegap melewati badai tidak akan goyah hanya karena tertiup angin.” Inti yang ingin kusampaikan adalah apapun hal berat yang kamu alami, yakinlah bahwa ada orang lain yang pernah mengalami yang lebih berat, jika ia bisa melewatinya maka kamu pun bisa, kamu pun mampu. Percayalah bahwa semua masalah yang menemuimu sudah terukur, dan kamu pati bisa melaluinya. Setelah kamu mampu melaluinya, maka kamu akan menjadi pribadi yang lebih tangguh dan merasa “easy” dalam menghadapi masalah yang serupa. “And you will feel ….”, (isi sendiri, hehe).