No Title

Oleh: firfir16

 

“Yah, bolanya melesat jauh.”

Sebuah bola melesat menghampiriku dengan perlambatan. Perlahan-lahan membungkukkan diri dan mengambil bola itu. Namun, tanganku tak berhasil menggapainya. Mungkin, itu membutuhkan usaha yang lebih keras. Dari kejauhan, seorang anak kecil menghampiriku. Geliatnya menunjukkan bahwa ia adalah pemilik bola itu.

“Maaf, kak. Bolehkah aku mengambilnya?”

“Ohh… tentu saja. Itukan bolamu.”

Dengan tersenyum, aku menyerah untuk mengambilkan anak kecil itu bolanya. Sebuah kegagalan ini karena gerakanku yang terbatas. Sejak beberapa tahun yang lalu, tubuhku sangat lemas dan daya tahannya cukup buruk. Dokter memvonis bahwa aku terkena penyakit langka. Tampaknya hanya satu berbanding sejuta orang yang terkena penyakit sepertiku.

Sepanjang hari kulalui dengan duduk dikursi roda ini. Biasanya aku mengunjungi pemandangan taman kota dari pagi hingga petang. Dari kursi ini, aku mengamati gerak-gerik pengunjung setiap harinya. Tempat ini seperti sebuah kedua sisi koin. Karena ditempat ini aku merasakan kesedihan dan kebahagiaan. Sebuah hal yang menyenangkan melihat anak-anak bermain dan berekreasi menambah semangatku untuk menjalani hidup ini. Anak-anak itu berlarian seperti sebuah kupu-kupu yang bebas. Namun, terkadang hal menyedihkan terjadi ketika hujun mengairi taman ini.

Anak-anak tak lagi terlihat sedang bermain-main ditempat ini dan aku hanya memandangi tetesan air yang jatuh dari langit. Terlebih lagi, hujan yang jatuh dari langit membawa air dan pesan. Pesan dengan kode yang tak dapat dimengerti, tetapi dapat diterjemahkan oleh otak. Pesan itu berisi tentang kenangan-kenangan yang pahit. Terkadang aku hanya bisa merenung dan menyalahkan diri sendiri.

Kenapa? Kenapa aku mengalami penyakit ini? Kalimat-kalimat itu seringkali memenuhi pikiranku ketika awan menyelimuti langit dan air membasahi bumi. Namun, keluhan-keluhanku tidak ada gunanya. Sebab aku tidak sepatutnya mengeluh. Sejak kecil, aku tidak mau orang-orang memandangku sebagai makhluk lemah dan mengeluh itu hanya untuk makhluk yang lemah.

Setiap kali aku mengeluh, pikiranku diketuk oleh kata-kata. Biasanya, kata-kata itu mengetuk dengan keras hingga membangunkan pikiranku yang tenggelam oleh lautan keputusasaan. Kata-kata itu berasal lisan seseorang yang dulu menemaniku setiap saat. Orang itu adalah temanku, ialah teman terbaik yang pernah kumiliki. Namun, kini ia pergi ikut bersama orang tuanya keluar negeri.

Orang itu sangat pintar dan juga religious. Aku sangat beruntung mempunyai teman seperti dia. Ia terus memotivasi diriku dengan kata-kata yang keluar dari lisannya. Seringkali ia membacakan arti suatu ayat dari Al-Qur’an. Kata-kata itulah yang juga membuatku mampu menghadapi penyakit ini. Ia bagaikan sang mentari. Ketika awal kita berjumpa dan akhir kita berpisah, ia selalu saja menampilkan cahaya yang begitu indah dan tidak akan pernah terlupa.

Di tempat inilah, kita berjanji akan berjumpa lagi. Saat itu, ia duduk di tanah dekatku. Tatapannya tampak berbeda kala itu. Ia seperti sedang menyimpan sebuah rahasia dan takut untuk diungkap.

“Ada apa denganmu? Sepertinya kau murung.”

“Anu… aku sebentar lagi akan pergi ke suatu tempat.”

Helaan napas terdengar lumayan keras. Ia terlihat gugup berbicara kepadaku.

“Kemana? Katakan saja.”

“Aku akan ikut bersama orang tuaku keluar negeri. Mungkin, aku akan disana sangat lama.”

Kala itu, aku sempat terkejut dan sedih. Namun apa boleh buat, perintah orang tua itulah yang utama.

“Kalau begitu, berjanjilah padaku. Kau akan ketempat ini untuk menemuiku.”

“Baiklah, aku akan menepati janji itu. Aku bukanlah tipe orang yang melanggar sebuah janji.”

Kalimat itulah salah satu alasanku untuk tetap menanti kehadiran yang tak pernah pasti. Walaupun sudah 10 tahun lamanya, tetapi aku yakin suatu saat nanti ia akan kembali.

“Besok kita main lagi ya?”

“Ok deh.”

Sebuah percakapan terdengar dari tempat anak-anak bermain bola. Tampaknya, matahari akan terbenam dan mereka akan pulang. Sekarang tempat ini menjadi sepi. Pengunjung pulang satu persatu dengan kebahagiaan yang terpancar dari raut wajahnya. Kini tinggal aku sendiri, menanti sebuah mentari yang terbit bersamaku lagi disini di tempat ini.(/sap)