Selamat Tinggal
Oleh: Mak_e
Ditengah gelapnya malam, aku masih terjaga. Aku beranjak dari tempat dudukku. Berdiri, dan berjalan menuju kamar. Mataku tak kunjung terpejam. Masih terbayang ribuan makna dari kalimat yang diucakan Mak kemarin petang.
“Mak benci kau…..”
Dalam benakku Mak masih ada dan terus membisikkan kata itu. Aku keluar mengendap-endap. Menuju sebuah tempat yang gelap gulita. Dimana itu adalah tempat aku tak pernah boleh masuk ke dalamnya. Bermain di sekitarnya pun aku dimarahi.
Kini, aku bukan anak-anak lagi. Aku perlu tahu apa yang Mak sembunyikan dariku. Ku buka pintu itu pelan-pelan. Pintu yang terhalang rapat oleh sebuah almari. Mak memang cerdas, tapi aku lebih cerdas. Aku menggeser almari itu dengan sebuah pelumas.
Pintu itu mulai terbuka. Ku nyalakan lampu senter. Namun, tak ku temui apapun di dalam. Di dalam hanya sebuah tempat kosong, gelap, namun berlumuran darah yang telah mengering. Aku tak tahu, tak ada sesuatu yang menandakan adanya sebuah rahasia. Namun mengapa Mak selalu melarangku?
Berkali-kali sudah ku tanyakan hal ini. Namun Mak hanya diam. Dan berkali-kali pula tangisan Mak pecah,, dunia seakan kelabu.
Di pojok ruangan itu, aku melihat sebuah papan bertuliskan “Selamat Tinggal” dengan tinta berwarna merah. Aku tersentak, entah tiba-tiba aku merinding ketakutan. Aku langsung kembali ke kamar dan menangis. Rasanya, papan itu punya arti yang dalam.
Tak terasa mataku yang berlinang air mata terpejam. Aku mulai tertidur aku bermimpi, sepasang bocah sebayaku mendendangkan lagu “Selamat Tinggal”….
Mak adalah sosok yang tegar nan kuat. Ia tak pernah mengeluh, dan tak pernah membuatku sakit hati. Bahkan, jika aku nakal sekalipun. Mak dengan sabar menasehatiku. Namun entah mengapa, Mak mengucapkan kata-kata itu kemarin. Apakah kini Mak tak sayang lagi dengan ku? Apakah kenakalan ku takbisa di tolerir lagi.
“Tumben sekali sudah pukul 04.00 Mak belum bangun.” Aku berjalan menuju bilik Mak. Ku tak menemui Mak di sana. Aku pun berlari ke luar. Ternyata Mak ada di belakang rumah. Duduk termenung, sembari memegangi sebuah bingkai foto.
Aku mendekati Mak. “Mak kenapa? Aku mencari Mak ke dapur tapi Mak tak ada.”
“Mak tak apa. Cuma sedang memilih kacang di antara rumput ni, untuk kita makan nanti.” Kata mak menutupi.
“Aku tak percaya Mak. Tapi sudahlah, mungkin aku bukanlah siapa-siapa di mata Mak. Sehingga aku tak boleh tahu apa masalah Mak. Sini, aku juga ingin membantu Mak,” pintaku
“Tak perlu nak, masuk dan belajarlah!” kata Mak.
Aku tak juga masuk. Masih kupandangi bingkai foto yang Mak sembunyikan dari ku. Lagi-lagi bingkai foto itu bertuliskan selamat tinggal.
Aku tak bisa menahan tangis. Aku masuk kamar dan menangis. Mak pun menghampiriku. Ia hanya duduk dan kemudian berkata,“Maafkan mak nak,,, mak memang tak bisa menceritakan semuanya sekarang. Suatu hari nanti kau kan mengerti. Mungkin dalam waktu dekat ini. Kau sudah besar nak. Tapi kau perlu tahu satu hal, mak sayang kau…. selamanya… ”
“Aku benci Mak…”
Ternyata itu memang benar. Papan itu bukan sembarang papan. Jika papan ituu di gaser, nampak kertas- kertas berjatuhan. Diam-diam aku mencari tahu akan kehadiranku. Akan masalalu. Akan hal yang mak tutup-tutupi dari aku..
Ku temukan sepucuk surat dari puluhan kertas-kertas yang berserakan. Lagi-lagi surat itu bertuliskan selamat tinggal. Kubaca surat itu pelan-pelan. Namun tak jua mengerti. Ku ulang laagi sepatah dmi sepatah. Dan terungkaplah, kalau itu adalah surat dari bapak.
Kehidupan keluargaku yang pilu. Dulu ketika masalah-demi masalah berujung kepedihan. Ketika Mak tak sanggup lagi menerima bapak. Ketika aku masih dibawah umur. Tak mengerti apa-apa. Namun, dari surat itu ku tahu bahwa bapak meninggalkan Mak, aku dan keluargaku. Karena bapak ingin menuju kehidupan yang lebih baik.
Tapi, yang ku baca dari surat itu adalah sebuah kesalahpahaman antara Mak dan Bapak. Mak kira, Bapak sudah tak menyayangi Mak. Ternyata, Bapak pergi untuk Mak. Untukku sekeluarga.
Dibalik suratan bapak itu, terlihat coretan sadis “Mak benci kau”. Kata-kata yang sama persis yang mak katakan padaku. Dituliskan bahwa Mak menyesal kehilangan bapak. Waktu itu akku bermain ria dibalik rel. Tak menyangka, nyawa bapak melayang demi aku.
Surat selamat tinggal dari bapak (meninggal saat menyelamatkan ku dari gerbong kereta). Hal yang tak pernah kuketahui selaama ini. Belasan tahun Mak menyembunyikan ini dari aku. Aku tak kuasa bangkit. Tak kuat untuk menahan tetesan air mata.
Kini, aku mengerti. Arti kebencian itu, adalah sayang. Namun, diungkapkan dengan kata dan cara yang berbeda. “Mak menyayangiku…”
Harapanku, aku ingin mak bahagia. Dan semoga Abah mengerti akan besarnya cinta mak, meski sudah di lain dunia..
Aku bangga dengan kalian. Mak aku janji, kata selamat tinggal itu akan slalu ku kenang..