Lintang.
Aku bicara tanpa kata. Kau pasti berpikir, bagaimana bisa? Lantas kau berbicara dengan apa? Itu mustahil. Tetapi kau salah, tidak ada yang tak mungkin di dunia ini. Akulah buktinya, aku bicara tanpa kata. Tetapi aku bicara dengan hati. Hati? Benarkah? Ya, benar. Tepatnya dengan bahasa yang hanya bisa dipahami oleh orang – orang tertentu.
Ya, kau benar. Aku bicara memakai bahasa isyarat. Aku memang berbeda. Aku memang punya mulut tapi lidahku kelu setiap kali aku ingin mengucapkan kata. Entahlah, mungkin Tuhan punya takdir lain untukku.
***
Di sinilah aku sekarang, setiap sore aku selalu menghabiskan waktu di taman ini. Kau tahu? Aku sedang menunggu seseorang. Namun, sebenarnya aku sendiri tak yakin apakah dia akan menepati janjinya. Mungkin saja dia sudah melupakan janji itu. Tetapi tidak ada salahnya jika aku menunggunya bukan? Aku yakin dia pasti kembali. Entah kapan itu.
“Langit. Kapan kau akan kembali? Aku lelah menunggumu di sini,” batinku kembali menangis.
“Aku lelah langit. Bolehkah aku berhenti berharap?” Ah kenapa napasku sesak lagi? Aku harus segera pulang. Penyakit ini benar – benar membuatku rapuh.
***
Saat aku sendiri, entah mengapa bayanganmu selalu datang. Entah mengapa, semua kenangan kita kembali menyeruak ke permukaan. Langit, masih ingatkah kamu? Saat dulu kamu selalu membelaku saat semua teman – temanmu menggangguku? Saat itu kau datang bagaikan pahlawan pembela kebenaran. Kau usir mereka, lalu kau pasti mengajakku ke taman itu.
“Kenapa kamu masih saja mendekati mereka? Padahal mereka selalu mengganggumu?” tanyamu dengan nada khawatir. Kuambil pena yang selalu kubawa dan kutuliskan beberapa rangkai kata.
“Aku hanya ingin berteman dengan mereka.”
“Sudahlah, mereka itu tak pantas menjadi temanmu. Kamu kan sudah punya aku. Aku akan selalu menemanimu,” katamu meyakinkanku. Mataku berkaca – kaca. Kamu benar-benar baik, Langit.
Ah, tiba – tiba air mataku kembali menetes. Kenapa selalu ada air mata setiap aku mengingatmu Langit? Aku tak pernah menyangka itu pertemuan terakhir kita. Kamu jahat, Langit. Mana janjimu dulu? Ini sudah 5 tahun, Langit.
Kenapa kau pergi tanpa mengucapkan apa pun padaku? Yang kutahu, kamu pergi ke luar kota, entah kemana. Kamu tidak tahu, kan? Sejak saat itu, aku selalu menunggumu di taman ini. Dan aku selalu berharap kamu akan kembali. Aku selalu berharap kamu akan menepati janjimu.
***
Langit.
“Maafkan aku, Lintang. Aku telah membiarkanmu sendirian. Aku tahu, 5 tahun bukan waktu yang singkat untukmu, tapi aku yakin, kamu akan tetap setia menungguku. Aku akan kembali, Lintang. Dan ini semua hanya untukmu.”
Aku harus menempuh 5 jam perjalanan menggunakan kereta untuk mencapai tempat tinggalku yang dulu. Entahlah, perjalanan 5 jam ini terasa sangat lama. Aku ingin segera menemuimu, Lintang. Aku merindukanmu, maafkan aku karena telah pergi tanpa pamit. Orang tuaku pindah rumah, Lintang.
Aku terpaksa mengikuti mereka ke kota. Aku tahu kepindahan ini terlalu terburu – buru. Bahkan, aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal untukmu. Tapi apa kau tahu, Lintang? Selama 5 tahun ini, tubuhku memang ada di kota. Tapi tidak dengan pikiranku. Bayanganmu selalu menari-nari di pikiranku. Aku selalu cemas memikirkan keadaanmu.
Apa kau baik – baik saja, Lintang? Apa anak – anak itu masih mengganggumu? Ah, aku benar-benar merindukanmu. Sosokmu istimewa, Lintang. Aku selalu melihat pelangi di mata indahmu itu. Kamu cantik, Lintang. Meski kau tak bisa mengungkapkan kata. Tapi ada pena yang bisa mewakilinya.
Di mataku kau begitu sempurna, Lintang. Lima jam berlalu tanpa terasa. Ah, memikirkanmu memang membuat waktuku berjalan cepat. Aku langsung menuju ke taman itu. Entahlah, tiba-tiba saja hatiku yakin bahwa kamu pasti ada disana. Aku tersenyum saat menyadari kondisi taman ini tidak berubah sedikit pun, masih asri seperti dulu.
Kulihat ada seorang wanita berambut panjang duduk di kursi taman. Segera kudekati wanita itu, rambutnya lurus dan tergerai indah. Ah, ternyata wanita itu tengah tertidur, wajahnya begitu damai. Lintang, kau tidak berubah, wajahmu masih cantik seperti dulu. Sebenarnya, rasa rinduku sudah tak terbendung lagi. Ingin rasanya kupeluk tubuhmu tuk menghilangkan rasa rindu ini.
Tapi aku tak tega, Lintang. Tidurmu begitu damai. Pelan-pelan kugerakkan tanganku untuk membelai rambut indahmu. Kamu benar-benar cantik, Lintang. Tapi tunggu dulu, kenapa badanmu terasa dingin, Lintang? Aku langsung panik. Kusentuh nadi di tanganmu. Astaga, denyut jantungmu lemah sekali.
Aku harus menyelamatkanmu. Dengan langkah tergopoh-gopoh aku langsung membawamu ke rumah sakit. Aku mohon, Lintang. Bertahanlah demi aku. Aku resah, aku benar-benar panik. Di dalam sana dokter sedang berusaha menyelamatkanmu. Bertahanlah, Lintang. Aku mohon. Aku sudah kembali, Lintang. Aku kembali hanya untukmu. 30 menit kemudian, dokter keluar ruangan dengan wajah sendu.
“Maafkan kami, Nak. Kami sudah berusaha sekuat tenaga. Tapi penyakit asmanya sudah sangat parah. Kami benar-benar tidak bisa menyelamatkannya.”
“Apa? Dokter pasti bohong. Dia masih hidup kan, Dok? Kenapa selang pernapasannya dilepas, Dok? Nanti dia bisa sesak napas lagi,” teriakku. Aku masuk ke ruangannya dan memasang selang itu lagi.
“Sudahlah, Nak. Kamu harus ikhlas, bagaimana pun ini adalah takdir Tuhan,” kata dokter menenangkanku.
“Lintang, kenapa kamu harus pergi secepat ini? Ini aku, Lintang. Aku Langit. Aku sudah memenuhi janjiku, Lintang. Aku sudah kembali, Lintang. Aku akan menemanimu seperti janjiku dulu,” suaraku bergetar menahan tangis.
“Maaf, Mas. Saya cuma mau menyerahkan ini. Tadi saya menemukannya di saku bajunya,” kata suster sambil menyerahkan sepucuk surat. Kuambil surat itu dan mulai kubaca.
Langit, aku merindukanmu. Aku sudah menunggumu 5 tahun, Langit. Itu bukan waktu yang sebentar. Aku lelah, Langit. Hari ini napasku terasa sesak tapi kupaksakan untuk datang kesini.
Di tempat ini aku selalu menunggumu, Langit. Aku yakin kamu akan kembali, entah kapan. Maafkan aku, Langit. Mungkin ini terakhir kali aku datang kesini. Aku lelah, Langit.
Aku putus asa, aku memutuskan untuk berhenti berharap. Hidup ini butuh kepastian, Langit.
Sudah cukup 5 tahun ini aku tersiksa karenamu. Izinkan aku, melupakan semua kisah indah kita. Meski kini, hatiku hanya tinggal separuh.
Kau tahu, Langit? Separuh hatiku tanpa sengaja telah terbawa olehmu.
Aku mencintaimu, Langit.
~ Lintang
-Selesai-