Arisa As-Zahra namaku, gadis yang baru berumur 18 tahun. Aku adalah seorang yang beruntung mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di luar negeri, yaitu di London. Berkat beasiswa tersebut, ayahku bisa bekerja di perusahaan sukses di Inggris. Mamaku juga menjadi guru menjahit di salah satu sekolah menjahit di London. Pada liburan musim panas tahun ini aku berencana akan pergi mengunjungi nenekku di Jogja. Aku sebenarnya adalah anak Indonesia. Hanya saja, aku berada di London telah kurang lebih 5 tahun. Pagi itu aku menemui ayahku yang berada di dapur bersama dengan ibuku.

Dalam bahasa inggris,

“Ma, aku ingin mengunjungi rumah nenek. Bagaimana kalau liburan musim panas tahun ini kita habiskan bersama nenek? Boleh ya, Ma? Please?”, ucapku dengan nada merengek. Mama mendekat kepadaku lalu tersenyum kecil.

”Iya bidadari mama yang manis. Minggu besok kita akan pergi ke Jogja. Jadi mulai sekarang kamu sudah harus membersihkan kamarmu karena kamarmu sangat kotor.”

“Yeyeyeye, Mama baik deh!” Mama hanya tersenyum dan aku segera berlari menuju kamarku dan mulai memberesi kamarku dengan perasaan tak sabar.

Satu minggu kulalui dengan perasaan tak sabar dan akhirnya hari itu datang juga. Aku segera menuruni anak tangga.

“Ma, ayo cepetan aku sudah gak sabar nih!”

Aku segera menarik tangan Mama dan sikap kekanakanku mulai tumbuh lagi meskipun aku sudah kelas 3 SMA. Sifat itu datang dengan sendirinya ketika hatiku sedang senang. Sekitar pukul 8 pagi, aku dan keluargaku pergi menuju bandara dengan menaiki Routemaster bus (semacam bus di London). Sesampainya di bandara, aku menunggu selama kurang lebih 1 jam. Akhirnya sekitar pukul 3 sore pada hari berikutnya, aku tiba di rumah nenekku. Sesampainya disana aku langsung disambut oleh senyuman kecil di bibirnya.

Jogjakarta, Indonesia

“Ya…Tuhan. Cucuku, sini masuk nak.”, ucap Nenek, sesaat kemudian aku duduk di ruang tamu.

“Nak, kamu pasti capek. Mau dibuatkan minum apa?”, tanya nenekku dengan nada lembut.

“Tidak usah repot-repot nek, aku tidak haus. Aku hanya capek saja.”

“Kalau begitu Kamu istirahat saja. Kamarnya sudah nenek siapkan. Uhuk… uhuk…” ucap nenekku sembari batuk selayaknya orang tua.

Setelah itu aku segera menuju ke kamar tamu yang sudah disediakan oleh nenekku.  Di kamar aku hanya berbaring sambil membaca majalah yang aku bawa dari London. Tanpa kusadari aku tertidur dengan majalah di atas wajahku. Aku terbangun setelah mendengar ketukan pintu.

“Arisa, sekarang waktunya makan. Kamu mau makan di lantai bawah atau makananmu nenek antarkan?”, kedatangan nenek sungguh membuat aku terbangun namun entah mengapa mataku sangat tidak mau berkompromi denganku, kedua mataku seolah-olah ingin selalu terpejam.

“Tidak usah repot-repot, Nek. Aku akan makan di lantai bawah saja. Tunggu saja aku,  Nek. Aku akan segera kesana.”, ucapku. Nenekku mengangguk dan tersenyum yang menandakan bahwa beliau mengerti apa maksudku.

Setelah itu aku turun dari tangga dan segera menuju ke lantai bawah untuk makan malam. Setelah selesai makan, aku dan keluargaku pergi menuju ruang keluarga dan berbincang-bincang. Setelah itu, aku pun kembali tertidur.

Keesokan harinya, setelah aku bangun, aku disuruh Nenek untuk berjalan-jalan keliling desa. Di perempatan jalan, aku bertemu seorang lelaki bertubuh kurus dan agak tinggi sedang memakan pisang sambil bersepeda. Tak lama kemudian, terdengar suara mengagetkan dari belakangku. Aku segera menoleh dan berlari menuju arah suara mengagetkan tadi. Ternyata suara itu berasal dari lelaki yang aku lihat tadi. Lelaki itu terjatuh dari sepeda. Aku segera meminta pertolongan dari warga sekitar.

Sampun mawon mbak mangkih kula urusi tiyang niki, mbak sakniki kondur ing dalemipun mbak mawon.”, kata salah satu petani dan aku sama sekali tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Meskipun aku adalah orang Jawa asli, tetapi kemampuankku berbahasa jawa sangat minim.

“Maaf, Pak. Bapak tadi bicara apa, ya? Saya tidak mengerti maksud Bapak. Tolong diulang lagi dalam Bahasa Indonesia saja ya, Pak.”, ucapku dengan malu-malu.

Woalah, Mbak! Begini lho, sekarang Mbak pulang saja biar Paklik yang mengurusi orang ini.”

Meskipun aku sudah lupa apa itu ‘Paklik’ tapi aku tahu yang dimaksud pak tani tersebut setelah mendegar perkataannya aku segera pulang ke rumah nenekku.

Sampai di rumah, aku menceritakan hal itu kepada ibuku. Ibuku hanya tersenyum sebelum akhirnya meninggalkanku menuju kamar nenek. Aku masih belum tahu kenapa hanya itu saja respon dari ibuku. Aku segera menuju ke kamarku karena ibuku sudah acuh tak acuh denganku.

“Arisa…. “, panggil ibuku.

Aku berpikir ‘Ada apa ya? Kenapa pada saat beliau cuek terhadapku justru beliau malah memanggilku. Bukankah seharusnya beliau memusuhiku?’. Aku segera menuju kamar nenekku karena terakhir aku melihat ibuku masuk kesana.

“Arisa, tolong ambilkan tissue di dekat meja itu.”, ibuku memerintahku.

“Ya Tuhan! Kenapa bibir Nenek keluar darah, Ma?”, teriakku karena kaget sambil memberikan tissue.

Aku memandangi wajah nenek begitu serius sampai kuketahui bahwa ternyata nenek menderita penyakit yang menurutku itu adalah penyakit yang parah. Tapi pada saat aku meminta ibuku untuk memeriksakan nenek, nenekku tak mau. Beliau berpikir bahwa itu adalah penyakit tua yang sudah pantas ia dapatkan. Tetapi tetap saja, aku merasa khawatir dengan keadaan nenek. Aku tak mau nenekku pergi dari hidupku dan tak pernah kembali. Maka dari itu, aku segera kembali ke kamarku dan diam-diam aku menelpon seorang dokter. Sekitar pukul 3 sore, dokter yang aku telepon tadi datang. Aku segera mengantarkan dokter itu ke kamar nenekku dan mereka semua terkejut.

“Arisa…. Nenek itu tidak apa-apa. Kenapa kamu harus panggil dokter?“, ucap Nenek sambil tersenyum. Sama sekali tidak terlihat bahwa beliau memarahiku.

“Tapi, Nek. Arisa khawatir dengan keadaan Nenek. Di London, meskipun hanya penyakit tua tetap saja harus dibawa ke rumah sakit”, ujarku dengan memamerkan keadaan di London.

“ Oh jadi sekarang di London seperti itu, ya? Apa cucu nenek ini tahu sekarang ada di mana? Apakah kita sekarang ada di London? Jika tidak, maka adat-adat di London jangan dibawa ke tempat lain, ya kan?” Kata Nenek.

Ya, kata-kata nenek memang benar, aku memang salah. Di sini memang bukan London, tapi Indonesia, dan tidak seharusnya adat di London aku bawa hingga ke Indonesia.

“Iya, Nek aku salah. Tapi sekarang nenek dipriksa ya, aku sudah panggil dokter nih.”, ujarku.

“Nah, sekarang cucu nenek sudah tahu, kan bagaimana memposisikan diri? Iya, nenek mau diperiksa demi cucu nenek.”

Seusai diperiksa, ibuku memintaku membuatkan susu hangat untuk nenek. Aku segera menuju dapur untuk membuatkan nenek susu hangat. Tetapi, setelah aku lihat persediaan susu untuk nenek sudah habis, aku lalu keluar dari rumah untuk membeli susu.

”Arisa, Kamu mau kemana? Jika Kamu ingin membeli susu ini uangnya dan tolong sekalian setelah selesai membuat susu, Kamu ke kebun mengambil beberapa sayuran lalu taruh saja di dapur.” Ucap mamaku mengagetkanku.

”Iya, Ma. Tunggu saja nanti aku taruh di dapur.” Ucapku sambil berteriak karena mama masih ada di tangga bagian atas sedangkan aku sudah berada di depan pintu rumah.

Sesampainya di supermarket terdekat, aku segera membeli susu. Setelah selesai, aku segera menuju kebun di dekat halaman rumahku. Oh… God! Aku bertemu dengan orang yang baru kutemui tiga hari yang lalu.

“Hai… Boleh kenalan, gak?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. Haduh! Ternyata dia gak buruk banget kok.

“Kamu bukanya anak yang waktu itu ketemu aku, ya? Hey siapa nama Kamu?”, dia bertanya padaku.

“Iya. Kamu yang waktu itu jatuh dari sepeda karena makan pisang dan kulitnya Kamu buang sembarangan itu, kan? Namaku Arisa As-Zahra. Nama Kamu siapa ?” Jawabku.

Anak itu begitu lucu. Sumpah! Dia mirip banget sama Tomi, boneka yang cute banget…

“Hehe… Jangan ungkit-ungkit masalah itu lagi, dong. Jadi malu aku. Oh ya, namaku Masamune Tomisada.” Jawabnya. Oh Tuhan! Dia mirip banget sama Tomi. Selain mukanya yang sama-sama lucu, namanya juga sama kayak bonekaku.

“Oke santai aja. Ngomong-ngomong kok nama Kamu ‘Jepang’ banget. Kamu asli Jepang, ya? Terus, nama panggilanmu apa?” ucapku. Aku bertanya pada diriku sendiri, ‘kenapa aku harus bertemu dengan orang yang mukanya mirip banget sama boneka babiku yang sumpah lucu banget’.

“Gak apa-apa. Aku yang kasih nama itu. Katanya itu nama yang lucu, kamu boleh panggil aku Tomi kok.” Dia berkata itu padaku dengan suaranya yang begitu lembut.

“Oh.. Tapi kalau aku panggil Kamu Tomi, boleh gak, ya? Aku tahu itu nama buat anak cewek tapi menurutku itu nama yang bagus buat Kamu karena lucu, sesuai dengan mukamu yang sumpah! Lucu banget!” aku sedikit memuji Tomi.

“Makasih, ya. Tapi Kamu sangat berlebihan. Oh, ya. Siapa namamu? Kayaknya namamu lebih lucu daripada aku deh!” Ujarnya.

Oh, God! Aku dibilang lucu. Tapi kayaknya aku emang cute-cute gitu.

“Emh … Arisa As-zahra, tapi jangan kira aku asli luar negeri, aku ini anak indonesia asli cuma aku dapat beasiswa sekolah di London.” Entah mengapa hari ini, jam ini, menit ini, detik ini, aku merasakan ada hal yang aneh kayaknya ada sesuatu yang bersarang dihatiku, tapi aku enggak tahu apa perasaan itu.

“Wow … pasti Kamu anak pinter ya? Ya iyalah kalau gak pinter mana mungkin Kamu bisa dapat beasiswa sekolah di London, selamat ya!” Katanya sambil mengajakku berjabat tangan atas keberhasilanku meraih beasiswa itu. “Ah Kamu berlebihan, jangan gitu dong aku nanti jadi besar kepala nih…”

“Kamu lagi liburan musim panas ya? Oh ya… Kamu ngapain di sini?”

Ya tuhan aku lupa kalau nenekku di rumah sedang sakit parah. “Aaa… aku jawab itunya kapan-kapan aja ya kalau kita ketemu lagi aku ada urusan nih,” dengan berlari aku segera menuju rumah nenekku. Di jalan, aku berusaha berlari dengan cepat dan berharap aku belum telat pulang ke rumah karena kulihat matahari sudah hampir meninggalkan peraduannya.