P(x) = 80% ?

Karya : Rei Han

Apa kau percaya pada ’kebetulan’?

Ketika singularitas berkembang membentuk dimensi ruang-waktu, mungkin penyebabnya hanyalah suatu ’kebetulan’. Senyawa organik prekursor kehidupan pun mungkin terbentuk karena petir dan radiasi yang ’kebetulan’ menyambar sup primordial.

…jadi, ya aku percaya ’kebetulan’ itu ada.

”Tak salah lagi, In. Aku harus benar-benar maju bertindak menyambutnya! Sudah kupastikan, hipotesisku 80% benar. Bukan seperti si kucing Schrodinger.”

”Anda bergurau? Sepertinya, kau harus belajar denganku. Coba aku luruskan cara berpikirmu, Nak. Ini bukan masalah keunggulanmu 30% dari Erwin Schrodinger. Tapi, hipotesismu akan dipercaya ketika kisaran nilai signifikasi atau probabilitasnya sebesar 1% yang terkecil dan 5% sebagai batas maksimumnya. Mudahnya, hipotesismu kurang 15% meyakinkanku.”

”Dan, apa kau demam dengue, kawanku? Akhir-akhir ini penyakit itu kian mewabah di desa. Kau tak halu kan? Mungkin yang kau terima itu kebetulan persepsimu belaka. Kalau pun benar, langkah apa yang mau kau ambil?” tambah Intan

Seolah memeriksa suhu, tertempel lah tangan Intan ke pipi dan dahi Putri sembari berkomat-kamit dalam hati. ”Seberapa besar tembok Cina yang harus aku pindah untuk menyekat, antara hati dan akalnya?” gumam Intan. Dara 15 tahun, atlit gulat bilangan.

”Ampun. Ha ha,” lepas Putri.

Sebegitu fokusnya dengan rencana pemindahan tembok Cina, melalaikan Intan akan apa yang kini Putri perbuat. Senyum-senyum tiada karuan. Raganya telah habis dibuat hilang kendali oleh akalnya yang kondisinya kian memburuk.

Sebab tak menyadari akan perbuatan Putri, mereka terus berjalan dengan riangnya menyusuri hijaunya koridor, menuju tangga ke lantai bawah. Terus berjalan seperti yang dikata oleh Dory. Target mereka, bisa makan mie goreng bu kantin tengah yang super enak pol. Di perjalanannya tak ada kata yang lebih penting dari tebakan-tebakan Putri yang amat garing. Hingga perlulah Intan membawa seember air bersih untuk menyiraminya agar tak kering sepanjang masa.

”Mbak, mie goreng 2 bungkus, ya!” ucap mereka serempak, setibanya di depan Ibu Surti. Ibu beranak tiga, berkepala empat.

Tak bungkus daun pisang ra popoto, mbak? Kon say no untuk plastik.”

Serempaklah mereka menjawab, ”tak apa,” walau batin mereka menjerit. Mie goreng serupa megana!

Di saat yang sama, peristiwa yang berbeda. Ibu kantin terlihat lihai mengaduk mie instant. Ia sedang berakrobat, unjuk diri kebolehannya dalam membuat mie goreng tampilan megana itu. Tak butuh 3 menit apalagi 5 menit. Hanya butuh 79.8 sekon, mie goreng berbalut daun pisang telah sempurna mendarat di telapak tangan kedua bocah SMA ini. Sebenarnya tak hebat-hebat amat kemampuan ibu kantin. Hanya masalah titik acuan pengamat saja.

Singkatnya, Putri dan Intan kembali menaiki tangga. Menyusuri lorong hijau koridor. Guna kembali ke habitat tempat mereka berasal. Their classroom.

”Sudah 2 × 15 hari aku telah merasakan ada sepasang mata yang membututiku dari seberang koridor sana. Memburuku! Sepasang  mata berkantung hitam yang di bawahnya telah bersiap, peluncuran senyuman keren. Kece super badai, Aw!” sela Putri Ratnasari.

”Iya kan?” tambahnya.

”Kau tau itu kan, In?” lagi dan lagi.

Nggih, Dara Puteri,” Intan pasrah menjawab. Ia berpikir keras. Keras sangat!

Meski dalam perhitungannya, memang ekuivalen dengan apa yang diucap oleh manusia sebelah dirinya itu. Telah sebulan lamanya dihitung sejak hari ini, dirinya mendapati Putri diburu oleh sepasang mata berkantung hitam.

Tapi untuk kenapanya ia tak tahu pasti. Sang pegulat angka ini tak boleh sembrono dalam berasumsi. Ia harus mempertimbangkan pembuktian langkah ketiga yang seperti apa, hingga ’Induksi Pembuntutan Mata Putri’ dapat terbukti benar atau salah. Yang pasti, sebagai teman lengketnya, ia hanya berharap mampu menetralisirkan kehaluan Putri. Di sisi lain yang terdengar kontradiktif, Intan juga ingin membahagiakan sobatnya. Sebut saja ’AES’. Asal embak senang.

Kerasnya tumbukan kata yang terjadi di dalam lobus frontalnya itu, berdampak pada sereberoserebelum yang memaksa membuat laju pergerakan memorinya berlangsung sangat cepat. Hingga terbentuklah suatu jalinan kata yang bernada menyelidik.

”Coba kita ingat-ingat apa yang telah terjadi sebulan ini,” kata Intan Permatasari pada kawan bicaranya kini, yang tengah memakan mie goreng sedap satu persatu dengan tangan sambil berdiri. Spontan, Intan berseru lantang layaknya panglima perang Mu’tah.

”Duduk makannya! Pupnya mau berdiri juga?” walau, terus berkecimpung di dalam serunya kombinatorika, Intan telah didaftarkan kelas mengaji Ustaz Rahman, oleh emak dan bapaknya sedari balita. Jadi, untuk urusan agama seperti ini tak perlu diragukan kembali pengetahuannya. Wawasan Intan luas sekali!

Tak perlu diingatkan kembali, Putri sempurna duduk di kursi luar kelasnya mematuhi perintah Intan, layaknya budak jahiliyah yang disuruh oleh majikannya.

”Di pertemuan dua pasang mata yang pertama hingga kedua belas, aku biasa saja. Bahkan hanya aku anggap sebagai lalat yang lewat sebentar. Namun, entah daya magis apa yang ada di angka tiga belas hingga dapat membolak balikkan persepsi awalku. Hingga kau tau? Aku bertanya padamu siapa dia.”

”Kau menjawab dengan entengnya bahwa dia sepertinya anggota tim olimpiade ekonomi. Benar, saja! Ketika aku menjemputmu di perpustakaan, saat kau dengan asiknya bergulat dengan notasi faktorial. Dengan seronoknya, membuat harmonisasi ruas-ruas garis dalam geometri, di ruang yang sama ia ada dengan laptop dan kurs sahamnya. Sosok itu mencuri pandang lagi denganku.  Aku malah mengambil langkah yang salah,” kata Putri separuh tertawa.

”Berlari menujuku, hingga ditegur bu Kumala, pustakawati. Pfft! Salah tingkahnya ekstrim sekali,” tawa murid mengaji Ustaz Rahman.

Kemudian setelah insiden itu, Intan barulah tau jikalau perempuan manis berpostur sedang yang nampak biasa saja itu menaruh hati, terperangkap dalam jebakan si lalat. Ya, senyum sang pemegang saham itu.

Mereka melanjutkan pembicaraan mereka. Hingga,

”Kau ingat pertemuanmu yang kelima belas hingga dua puluh sembilan?” goda Intan, iseng bertanya. Putri merespon, ”Tak sepenuhnya kuingat, haha.”

”Pertemuan kelima belas hingga tujuh belas berlangsung di koridor ini. Kau mematung. Dan pipimu bukan lagi memerah muda. Tapi sudah semu kehijauan kehabisan oksigen. Iya, kan?” Putri menimpali, ”Ya. itu salahnya! Aku hingga lupa bernafas sejenak mengambil oksigen yang gratis dariNya.”

”Bah! Dengan fakta-fakta tadi, Kau masih kukuh 80%? Atau itu tetap hanya lah suatu ’kebetulan’?”

”Ya. Hanya kebetulan. Tapi terus berulang. ’Kebetulannya’ berbeda dengan kebetulan yang lain. ‘Kebetulannya’ bisa jadi bermakna takdir! Hasil dari variabel-variabel di luar nalar kita,” timpal Putri kukuh.

”Haha, ketularan suka variabel nih. Masih ingat dengan yang kedelapan belas hingga dua puluh sembilan, Put?”

Masih dalam kondisi memasukkan mie ke dalam mulutnya, “jangan ingatkan aku, sobat.”

”Tapi, hmm … otakku berkata lain hingga memorinya masih terekam jelas di sini,” sembari menunjuk otaknya dengan tangan yang baru saja ia gunakan untuk menggiring mie masuk ke mulutnya.

Intan mulai menanggapi temannya itu, ”kau otomatis berlarian, berbalik arah di koridor ini. Macam sedang melakukan shuttle run saja.  Dan itu secara tiba-tiba, Put! Entah apa pasalnya. Haha.”

”Oh, kini ku mengerti! Siapa yang menyebabkan manusia bernama Putri ini berlarian kesana-kemari dan tertawaa~ namun bil-”

”Kesambet apa kamu? Malah nyanyi,” Sela Putri cekikikan.

”Huh.. Oke, kembali ke awal. Karena siapa coba?”

”Siapa lagi kalau bukan Raka.” rayunya.

Jangan lanjutkan lagi pertemuannya yang ketiga puluh karena setelahnya hingga saat ini, sepasang mata penggila saham itu belum kembali dijumpai Putri. Menyedihkan. ’Kebetulan’ yang diagung-agungkan oleh Putri lenyap.

Probabilitas prediksi Putri Ratnasari yang awalnya 80:20, kini susut menjadi 35: 65. Susut karena faktor lain yang sangat berpengaruh! Apalagi kalau buka dilatasi harapan. Harapannya telah diskalakan oleh alam. Yang awalnya harapan itu mempunyai faktor skala lebih dari satu, kini ia telah menjadi nilai diantara negatif satu dan nol. Bukan hanya diperkecil! Namun, arahnya pun kini mulai berlawanan.

Tapi ini hanya teoritis kawan! Fakta di lapangan, probabilitas kerap kali berbeda. Kita tak tau dan tak bisa menebak. Fluktuasinya kadang sering bercanda.

”Hahaha,” tawa Putri menyembunyikan kecemasan akan keakuratan peluang yang ia buat. Sembari memakan mie goreng bersama Intan, tentunya.

”Tumben Ka, lewat sini. Kita kalau mau bimbingan kan lewat koridor seberang,” tanya Ares. Teman sekelas Raka, anggota tim olimpiade biologi.

Tak ingin memancing Areworo untuk bercerita tentang seluk beluk cell, Raka menanggapi pertanyaannya itu, ”tadi dapat mandat dari Pak Surip buat jemput Intan, bimbingan dadakan. Tuh orangnya,” sembari menunjuk keberadaan Intan sekarang ini.

“Biar pinter matematika harus gemar makan mie goreng, ya? Dia lahap benar makannya. Cavum oris nya sampai penuh,” sela pejuang Biologi, Aresworo. Sembari mengelus-elus dadanya sendiri. Raka terlihat tak menanggapi ucapan manusia di sebelahnya ini.

Di sisi yang lain, dua anak manusia (terindentifikasi gendernya perempuan) masih lahap menyantap mie mereka walau bel masuk akan segera berbunyi 3 menit lagi. Jangan heran mengapa mereka begitu lama menghabiskannya. Teknik andalan mereka yaitu, makan satu per satu helaian mie! Biar nikmat betul katanya. Ada-ada saja!

”In,” sapaan Raka tak mereka dengar saking lahapnya.

”Assalamu’alaikum,” ujar Raka mendekati muka Intan dan Putri sembari tersenyum. Persis dengan senyuman di pertemuan ketigapuluhnya dengan Putri. Jenis senyuman yang cenderung unik untuk diungkapkan. Entah selera tuan ’Putri’ nya yang low, atau memang terkadang senyum seperti itu yang didambakan oleh mayoritas kaum hawa? Baiklah, senyumannya yang ketiga puluh ini tak jauh berbeda dengan senyum yang biasa ia rekahkan.

Hanya masalah gigi! Di senyuman ketigapuluhnya, penggila saham berkantung mata itu menampakkan gigi putihnya. Bagi orang biasa mungkin dengan senyum menampakkkan putihnya gigi yang mereka miliki akan mengelokkan paras mereka. Namun kasusnya mungkin berbeda dengan Raka. Dengan tampang serius sedari lahir. Senyum tampak gigi seperti itu akan melipatgandakan aura ketegangan di antara dua insan yang sedang berjumpa.

Putri memang gadis biasa namun unik juga, ya! Hanya disenyumi dengan gradien bibir +1/3 saja, setelah tiga belas kali, hatinya telah jatuh. Ibarat lalat, sudah tak bisa bangkit lagi dari jebakan lem. Apalagi dengan senyuman ketigapuluhnya, juga yang kini ia dapati. Bagi Putri, senyum yang seperti ini menambah karisma dan ketampanan Raka.

”Sudah ditunggu Pak Surip. Ada bimbingan matematika mendadak. Katanya, kalau besok, Pak Surip ada dinas luar,” tambah Raka tak membiarkan terjeda oleh balasan ”Wa’alaikumussalam” mereka. Entah mengapa, Intan merasakan aura yang berbeda di sampingnya. Begitu pula dengan yang dirasa oleh Ares.

”Tunggu, kenapa banyak bunga yang merekah di sini? Seperti komik saja,” batin Intan.

Di samping Intan, Putri dalam gejolak batinnya, ia sempat berkata dalam hati, ”duh kalau seperti ini, medingan tadi bilang saja sama bu kantin, jangan diberi bubuk MSGnya. Senyumannya ini sudah lebih dari cukup untuk menyedapkan rasa mie gorengnya, dan lebih ramah lingkungan.”

“Repaaaa!”

“Tunggu, perkataan dari karakter mana itu? Aku tak menulisnya!” Terheran-herannya diriku, hingga buyar sudah fokus yang telah kupusatkan sedari 2 jam an yang lalu. Ingat, ini bukan zaman Mesozoikum hingga Neozoikum! Tapi, 120 menit an.

Belum sempurna fokus kuarahkan ke arah suara itu, telah terdengar kembali susulan suara tadi, ”jam bimbingan kok malah seperti ini, 3 hari lagi laga olimpiadenya dimulai, va. Kok malah nulis nunduk seperti itu.”

Oh, sudah jelas kini kiranya bahwa itu bukan karakter yang ku tulis, tapi mentor olimpiade fisika yaitu, Bu Dewini. Panggil saja ia Bu Dew. Sosok yang tak bisa marah ke murid, jadi aku santai saja. Kenapa harus was-was bahkan takut? Percuma!

“Oh, ini baru menulis ulang isi silabus olimpiade fisika. Dan mencoba menuliskan ketidakpastian Mekanika Kuantum dengan bahasa saya sendiri, bu. Nyicil SKS Kuliah besok! Ha ha.”

“Bagus, Va. Ibu senang. Ibu bangga. Ibu mendukung kegiatan merangkummu itu! Tapi pesan ibu-“

Walau terdengan kontradiktif, belum lah sempurna potongan kalimat yang terlontar dari cavum oris fisikawati itu, telah sempurna membuatku sombong! Tinggi hati, bangga diri. Terlalu, malah! Sebab telah mendapatkan hati mentorku. Jika saja, settingnya ada di webtoon naver, hidungku sudah digambarkan oleh author ternama dengan hidung yang panjang. Amat panjang! Bak Pinocchio.

Padahal, Pinocchio itu untuk masalah dusta-mendusta, bukan sombong meninggi hati sepertiku. Seperti yang kita ketahui bila hidungku. Bukan! Seperti yang kita ketahui bahwa hidung  Pinocchio akan memanjang jika ia berbohong. Dan jika dia mengatakan hidungnya akan memanjang dan ternyata hidungnya tak memanjang, berarti Pinocchio sedang berbohong. Dengan demikian, hidungnya kan memanjang.

Tapi bila hidungnya memanjang, berarti dia berkata jujur. Berarti, bila dia berkata jujur maka, hidungnya tak akan memanjang. Dengan demikian, Pinocchio sedang berada dalam keadaan hidungnya akan memanjang saat hidungnya tak akan memanjang. Paradoks memang seringkali begitu. Lupakan saja, coba kita dengar mentorku.

”Tolong tutupkan pintu perpus dari luar, ya. Disini dingin sekali. Maklum, lagi musim penghujan.” Habislah aku! Secara tak langsung, mentor fisikaku menyuruhku untuk keluar dari ruangan ini.

Kawan! Sebagai makhluk yang budiman, kita dibekali permainan jigsaw kehidupan. Sedang, untuk bahan yang kita punya ialah potongan-potongan hari. Yang di dalamnya ada tawa canda. Terbalut hangatnya senyum yang katanya ibadah. Di situ pula terlapisi tangis yang sendu. Terkadang berlapis rasa dendam yang mematikan pula.

Mengenai aturan-aturan yang ada, kita diperintah untuk menempelkan potongan-potongan hari tersebut dalam puzzle hidup. Namun juga terdapat aturan tambahan yaitu, terkadang kita dianjurkan berbagi kisah. Mengisahkan pengalaman kita pada orang supaya mereka ambil hikmahnya.

Yang tadi itu ialah satu dari milyaran potongan kehidupan yang kupunya, tentunya. Yang akan kutempel dalam permainanku. Dan tentunya juga telah kubagi dengan kalian. Maaf jika isinya terdengar remeh. Ringan sekali. Dan maaf, pop corn tak tersedia untuk menemani Anda.